Menapak Jejak Kelahiran Banda Aceh

 

Rasanya tidak afdhal kalau kita tinggal di suatu daerah, tetapi tidak tahu asal-usul daerah tersebut. Bagaimana rasa sayang akan tumbuh jika kita hanya mengenal tempat itu dari yang tampak di mata?

Maka, siang itu, saya dan teman-teman memutuskan untuk mencari tahu tempat lahirnya Banda Aceh, ibukota Provinsi Aceh. Matahari yang kian terik tidak menjadi halangan bagi saya untuk tetap melangkah. Kampung Pande, sebuah wilayah yang terletak di Kecamatan Kuta Raja adalah tujuan saya. Konon, di sanalah Banda Aceh lahir dan besar seperti sekarang ini. Karena tak ada angkutan umum ke sana, kami pun menyewa minibus.

Kampung Pande berjarak kurang lebih 5 kilometer dari pusat kota Banda Aceh. Di ujung perjalanan, ketika bus berhenti tepat di bibir pantai Selat Malaka, saya melihat sebuah tugu berbentuk persegi panjang. Itulah Tugu Titik Nol, titik pertama Banda Aceh terbentuk 808 silam.

 Namun, menurut Ahdian Yahya sebenarnya titik nol Banda Aceh terletak sekitar tiga ratus meter dari bibir pantai ke laut. “Tapi karena pergeseran garis pantai akibat tsunami, titik nol itu sudah tenggelam sehingga di buat baru di sini,” terang laki-laki yang merupakan tokoh masyarakat di Kampung Pande.

Pada tugu itu terdapat tulisan; Di sinoe asai muasai jadi Kuta Banda Aceh tempat geupeudong Keurajeun  Aceh Darussalam le Soelthan Johansyah Bak Uroe Phon Ramadhan thon 601 Hijriah. ( Di sini cikal bakal kota Banda Aceh tempat awal mula Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Johansyah pada 1 Ramadhan 601 Hijriah atau 22 April 1205 M).

Sultan Johansyah merupakan putra seorang ulama keturunan Bani Saljuk yang berasal dari Turki yaitu Machdum Ali Abdullah Syeh Abdurrauf Al Baghdady atau yang dikenal dengan Tuan Di Kandang.  Tuan Di Kandang merupakan putra dari Sultan Mahmud Syah, salah satu sultan di Baghdad pada masa Abbasiyah. Beliau datang ke Aceh pada tahun 1116 M bersama 500 rombongan yang terdiri dari sanak keluarga, ahli tata negara, ahli militer, ahli logam, dan ilmuwan-ilmuwan lainnya untuk menyebarkan ajaran Islam. Setelah melakukan penyebaran agama Islam, pada tahun 1205 M terbentuklah sistem pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam yang sebelumnya mengalahkan Kerajaan Lamuri dibawah pemerintahan Meurah-Meurah.

Kampung Pande

Kampung Pande terletak di sisi barat Krueng Aceh, berdekatan dengan Kecamatan Meuraxa dan Pelabuhan Ulee Lheue. Kampung tua ini diapit beberapa kampung lainnya. Ada Kampung Jawa di sebelah timur, Kampung Peulanggahan dan Keudah di sebelah selatan. Sementara sebelah utaranya berhadapan dengan Selat Malaka dan muara Krueng Aceh.

Pemberian nama Kampung Pande didasari oleh kemahiran penduduknya. Pande atau pandai yang berasal dari bahasa Melayu berarti orang dengan keahlian atau keterampilan khusus. Pande yang dimaksud di sini yaitu orang-orang yang memiliki keahlian dan keterampilan dalam menempa, mencetak atau membuat benda-benda dari logam baik logam mulia maupun logam biasa. Tak hanya itu, di Kampong Pande juga terdapat para pemahat atau pengukir batu nisan.

Namun sayangnya, kemasyhuran Kampung Pande pada masa lalu kini luput dari perhatian masyarakat. Banyak masyarakat Aceh yang tidak mengetahui bahwa ada pemukiman penduduk masa lampau di sini. Banda Aceh juga lahir dari kampung ini. Bahkan, penyebaran Islam pertama sekali bermula dari Kampung Pande tepatnya di Perlak yang dibuktikan dengan adanya Mesjid Perlak.

Nisan Beragam Hiasan

Setelah menelusuri Titik Nol Banda Aceh, saya kemudian menuju Kompleks Makam Tuan Di Kandang yang terletak di tengah-tengah pemukiman penduduk. Di dalam kompleks yang dikelilingi oleh pagar besi itu terdapat beragam batu nisan kuno dengan beragam hiasan. Terdapat berbagai jenis batu nisan dengan ukiran yang beraneka ragam terpancang di kompleks ini. Ada yang berbentuk balok, pipih bersayap, pipih, serta plang pling. Seperti yang dituturkan oleh arkeolog Laila Abdul Majid, ukiran atau ornamen yang dijumpai pada nisan di kompleks ini antara lain adalah motif bingkai cermin, tumpal, flora, sulur-suluran, dan kaligrafi. Ornamen yang diterapkan pada nisan tersebut mengandung makna filosofi. Motif bingkai cermin melambangkan bahwa hidup harus bercermin pada ajaran Islam dan kebijaksanaan para pendahulu. Motif flora berkenaan dengan gender. Sedangkan motif sulur melambangkan persaudaraan.

Nisan dengan beragam hiasan di Kampung Pande

Bentuk Nisan Menunjukkan Status

Bentuk dan ukiran nisan erat hubungannya dengan pengaruh orang tersebut semasa hidupnya. Seperti batu nisan batu nisan yang berbentuk balok persegi delapan diperuntukkan untuk raja-raja. Nisan berbentuk bulat polos, diperuntukkan bagi kaum ulama. Sedangakn nisan berbentuk petak panjang bagi orang-orang kaya, keluarga raja, ataupun Meurah-Meugat (pemimpin negara). Nisan kaum Adam dan Hawa pun dibuat berbeda. Perbedaan itu terletak pada sayap kanan dan kiri nisan. Jika nisan itu milik perempuan dapat ditandai dengan adanya ukiran berbentuk bulat dengan motif bunga yang berbetuk anting.

Kompleks Pemakaman Tuan Di Kandang ini ikut hancur saat tsunami melanda Banda Aceh tahun 2004 silam. Akibatnya, batu-batu nisan di dalam kompleks tersebar sampai ke pemukiman warga. Kini makam yang menjadi bukti bahwa Kampung Pande benar-benar sebuah situs pemukiman kuno mulai direnovasi kembali. Nisan yang berserakan diletakkan kembali pada makam pemiliknya berdasarkan dokumentasi yang dilakukan sebelum tsunami. Sayangnya, kondisi nisan tidak sepenuhnya utuh, beberapa bagaian terlihat patah dan rusak. Ada juga yang telah berjamur dan hancur.

Batu-batu nisan yang ada di kompleks Tuan Di Kandang dan tempat-tempat lain di Banda Aceh didatangkan dari Pulau Batee, sebuah pulau yang terletak di Pulau Aceh, Aceh Besar dan juga dari India Selatan. Batu-batu yang digunakan adalah batu yang memiliki kualitas terbaik. Pemahatan batu-batu nisan itu salah satunya dilakukan di Kampung Pande.

Tidak jauh dari komplek makam Tuan di Kandang, saya kemudian berjalan menuju ke Kompleks Makam Putroe Ijo. Di dalam kompleks itu dimakamkan raja-raja Aceh pada masa kesultanan. Sama seperti kompleks makam sebelumnya, pada makam Putroe Ijo terdapat beragam jenis batu nisan.

Selain di dua kompleks pemakaman yang telah saya datangi, terdapat juga nisan-nisan yang bertebaran di seluruh Kampung Pande. Menurut Ahdian, ada ratusan nisan kuno tersebar di kampung ini. Bahkan saya juga melihat nisan kuno di areal tambak ikan warga yang letaknya terpisah dengan pemukiman. Batu nisan yang sudah tidak utuh itu tergeletak begitu, tidak terurus. Tidak jarang, masyarakat membawa pulang batu nisan tersebut dan menjadikannya sebagai batu untuk mengasah pisau dan parang.

Setelah menelusuri Kampung Pande nan bersejarah, saya mengakhiri rekam jejak ini di Mesjid Tuan Di Kandang. Mesjid yang dibangun untuk mengenang ulama yang sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Banda Aceh dan ayah dari sultan pertama Kerajaan Aceh Darussalam.[]

Penulis : Liza Fathiriani | www.liza-fathia.com

Tulisan ini dimuat di  Rubrik Perjalanan Majalah Ummi edisi Desember 2013

Leave a comment